Selamat Datang Di Blog MA YMI Wonopringgo

Ahlan Wa Sahlan Fi Blog min MA YMI Wonopringgo

Kumpulan Karya-karya Cerpen

"Persahabatan Retak Akibat Berebut Cowok"
Oleh : Mushofakhah (XII-2)

Saat jam pelajaran kosong, aku sempatkan pergi ke perpustakaan. Tak lama kemudian, Rizqi dan temannya datang. Rizqi adalah teman sekelas Via. Tiba-tiba Rizqi datang menghampiriku. Lalu kami bercanda dan saling ngobrol bareng. Anehnya, setelah aku kembali ke kelas, aku seperti merasakan getaran-getaran dan benih benih cinta yang tumbuh di hatiku.
Istirahatpun tiba, pada saat itu aku sengaja lewat depan kelas Rizqi. Sampai di tujuan, aku sangat kaget sekali karena aku melihat Rizqi sedang duduk berhadapan dengan Via. Via ini adalah sahabat baikku. Entah mengapa pada saat aku melihat mereka, hatiku terasa terpukul. Pada saat itu pula aku mulai marah sama Via. Kemudian aku pura pura berjalan ke toilet. Akhirnya, Via melihatku dan langsung memanggilku.
“Fa, ayo gabung...kita ngobrol bareng...”
“terima kasih, tapi sebentar, aku mau ke toilet dulu.” jawabku. Setelah dari toilet, aku kembali dipanggil. “Fa, ayo gabung...” Aku hanya sekedar tersenyum sambil menganggukkan kepala. Setelah aku gabung dengan mereka, aku merasa seolah olah tak ada dihadapan mereka. Aku hanya dianggap bagaikan obat nyamuk. Dengan perasaan kecewa,langsung saja aku bilang “Vi, aku mau balik ke kelas ya...” Yang terdengar hanyalah jawaban singkat, “ya.”dari mulut Via. Tidak biasanya dia seperti itu.
Bel pulang berbunyi, aku keluar dari kelas dan mataku langsung tertuju ke hadapan Rizqi dan Via. Mereka sedang asyik ngobrol bareng. Kemudian aku pulang jalan kaki sama Via. Dalam perjalanan, Via bercerita tentang apa yang di obrolinnya sama Rizqi tadi dikelasnya. Aku hanya bisa menangis dalam hati. Hatiku panas, hancur, seakan akan terbakar karena aku cemburu. Dengan tegas,aku terpaksa bilang “Kamu suka ya.. sama Rizqi?” dia tersenyum malu. “aku tahu Fa, kamu juga suka kan.. sama Rizqi?” sanggah Via. Dan aku hanya diam tak menjawab.
Keesokan harinya, setiap aku bertemu dengan Via, yang terjadi bukanlah seperti sebelumnya. Kami tidak lagi saling menyapa dan kami saling menghindar. Pada saat itu, aku mulai merasa kalau persahabatan antara aku dan Via pasti akan retak. Sebenarnya aku tidak ingin itu terjadi. Rasanya aku ingin mengalah. Tapi percuma karena aku belum rela kehilangan Rizqi.
Akhirnya aku danVia bersaing untuk mendapatkan Rizqi. Mungkin Rizqi sudah tahu kala dia disukai oleh dua cewek yang dulunya bersahabat. Hingga akhirnya, Rizqi menentukan pilihannya. Sebenarnya aku masih ragu dan belum percaya karena Rizqi memilihku. Dan seakan bertanya tanya,”atas dasar apa Rizqi memilihku? Karena dia tulus mencintaiku, atau karena dia terpaksa kasihan melihatku.” Tapi aku tak peduli pertanyaan pertanyaan yang berlalu lalang di hatiku itu, karena pada saat itu aku merasa senang karena aku merasa menang.
Kabar tentang retaknya persahabatan aku dengan Via mulai tersebar luas setelah beberapa minggu kemudian. Pada saat itu pula aku merasa kesepian tanpa teman curhat. Aku pun banyak mendapat saran dari teman temanku yang lain. Mereka memintaku agar menjalin kembali persahabatan yang telah retak itu. Aku bingung aku harus bagaimana. Hingga akhirnya, aku mulai sadar kalau aku itu egois. Aku lebih memilih cowok daripada persahabatan. Aku benar benar egois.
Akhirnya pada saat latihan H-1 sebelum acara perpisahan sekolah diadakan, aku memberanikan diri untuk datang menghampiri Via dan teman teman. Aku menyatakan beribu-ribu maaf kepada mereka. Aku malu atas perbuatanku. Ternyata aku memang egois. Mereka memang baik karena mereka mau memaafkanku. Aku tak ingin menyia-nyiakan lagi kesempatan ini. Kesempatan untuk bisa berkumpul lagi dalam persahabatan yang akur dan kompak. Aku mulai menjalin kembali persahabatan  yang telah retak karena keegoisanku. Dan aku ingin lebih menyadari serta mengerti akan makna persahabatan.
Keesokan harinya, saat perpisahan sekolah diadakan, aku beranikan duri menghampiri Rizqi dan dengan tegas mengatakan “Kita putus”.  Tanpa meminta keterangan, Rizqi langsung menganggukan kepalanya. Aku senang karena aku bisa memutuskan hubungan antara aku dengan Rizqi tanpa ada perdebatan. Rizqi hanya diam karena mungkin dia mengerti akan keadaan ini. Mulai saat atu aku dan Via saling berjanji untuk tidak bertengkar lagi apalagi bertengkar karena cowok. Bagi kami itu sangat merugikan,dan kami juga berjanji untuk tetap bersama dalam menjalin kembali dan menjaga parsahabatan kami yang lebih akur dan lebih kompak. Semoga kejadian yang seperti ini tidak akan pernah terulang kembali. Ini merupakan suatu pelajaran terpenting bagi kami untuk bisa lebih mengerti dan menyadari akan makna PERSAHABATAN.

"Serpihan Cinta"
Oleh : Iga Nirmala (XI-2)

Hiasan malam berupa bintang bersembunyi di balik awan hitam pekat. Dinginnya angin terasa sampai ke rusukku. Tubuhku hanya dilindungi sweater hitam tipis sebagai penghangat. ditambah sikap Aldi yang duduk disampingku membuatku semakin menggigil kedinginan. Terhampar luasnya danau dengan air yang tenang didepan kami. Mataku tak melihat orang yang menghuni tempat ini, selain aku dan Aldi. Suasana kian sunyi.
"Nggak ada yang perlu dipertahanin lagi, Shin." Suara Aldi merusak keheningan.
"Maksudmu, Al?" tanyaku bingung
"Shin, hubungan kita sampai disini aja." Kata Aldi dengan suara gemetar.
Tubuhku mendadak lemas. Seakan saraf saraf yang ada pada tubuhku ikut berkontraksi, saat mendengar pernyataan Aldi yang begitu mengagetkan.
"Putus ?!" hatiku sedih. Mataku mulai meneteskan air. Emosiku mulai terbendung. Sontak pelukan Aldi menyelubungi ragaku untuk tenangkan keadaanku.
"Keputusanmu nyakitin aku, Al! Kenapa kamu mutusin aku?! Apa kamu udah nggak cinta lagi sama aku ! atau... kamu berpaling ke cewe lain?! Jawab Al !" kuhujamkan pertanyaan padanya.
Tiba-tiba kini butiran air jatuh ke daratan hingga menetesi kami berdua, serasa alam juga merasakan apa yang kurasakan.
"Aku juga nggak menginginkan ini, Shin. Aku mencintaimu, tapi keadaan yang memaksa aku buat merubah semuanya !" sahut Aldi sambil melepas pelukannya dariku.
"Apa kamu udah lupa sama janji kita, Al? kalau kita saling setia dan tiada penghalang satupun yang bisa memisahkan cinta ita, termasuk ortumu Al? Tapi apa ?! semuanya bullshit !!! Aku salah telah mempercayaimu. Hate You, Al!"
Beberapa menit tak sepatah katapun terucap dari mulut kami. Padahal aku bersiaga menunggu penjelasan Aldi. Tangan kirinya merangkul bahuku. Mendekatkan tubuhku padanya. Memberikan kehangatan pada ragaku tetapi tidak pada jiwaku.
"Fanya, cewe yang maksa cintaku buat singgah ke dia tetep aja nggak bisa ngegantiin posisi kamu dihatiku. Ini masalah pilihan, sayang. Please ! ngertiin aku. Aku sendiri pasti milih kamu tapi tetep aja ortuku tidak setuju, karena...!!!"
"Karena keluargaku berantakan. Papa seorang Koruptor dan Mama entah menghilang kemana. Mereka nggak mau ada kehadiran anak seorang kriminal yang hanya bisa cemarin citra keluarga kamu." ujarku dalam isak yang menyala.
"Orangtuaku telah salah menilaimu sayang. Mereka kukuh pada pendiriannya. Ujar Aldi dengan menghela nafas panjang." Kayak flashback dijaman Siti Nurbaya yang manut aja saat akan dijodohkan, aku pikir mateng lagi Shin, kalau aku menolak perjodohan ini, Fanya bakal nekat bunuh diri. Apalagi, penyakit jantung mama pasti kambuh. Mana yang harus aku pilih, Shin? Aku terjebak dalam situasi ini." ungkap Aldi dengan perasaan serba salah

"Rufi's Willingness"
Oleh : Life

ini kisah seorang pelajar yang sebenarnya pandai, dia terpengaruh oleh buaian kasih yang sebelumnya belum pernah dia rasakan. Cinta memang indah. Tapi tidak untuk mencintai seseorang dengan cinta yang terdapat keraguan dan ketidakpastian. Itu akan membuat seseorang terlanjur terlumat oleh perasaan yang disebut “cinta”.
Rufi, pelajar kelas XI SMA Jaya Bhakti Lampung ini memulai langkah barunya dalam mencari ilmu seusai dia mendapat peringkat 3 di kelas X sebelum liburan semester duanya. Anak yang menyukai mapel bahasa inggris itu terbilang anak yang kreatif. Pasalnya dia di sekolah ikut perkumpulan kesenian. Dan dia dapat mengembangkan minatnya dalam bidang melukis.
Suatu pagi di lorong sekolah, Rufi berjalan sendirian dari tempat parkir motor siswa menuju ke kelas. Di lorong itu Rufi dapat melihat senyum Pak Rio dari kejauhan. Wajah guru muda bahasa inggris itu terlihat cerah sekali pagi itu. Dan Rufi rasa guru yang satu ini tampak selalu ceria karena wajahnya yang berkarakterkan ramah dan murah senyum. Namun pagi itu memang beda dari biasanya. Mungkin bisa dibilang senyumnya senyum Pak Rio. Lalu beliau disibukkan dengan tas berbentuk kopornya yang tergantung pada kaitan di sebelah kanan bemper motornya. Beliau mengambil tas itu dengan berhasil. Di parkir motor guru, masih motor jet cooled beliau yang stand-by ditemani helm hitam kuno nagkring di kaca spion kanan. Rufi nge-fan banget dengan guru yang berangkat paling awal itu. Karenanya dia menjadi bersemangat dengan selingan cerita-cerita pendek yang biasa beliau ceritakan tepat setelah masuk kelas. Rufi juga menyukai saat beliau melontarkan beberapa kata-kata mutiara yang terus menyelinapi pelajaran bahasa inggrisnya. Bahasa inggris disukainya mungkin bukan karena mapelnya, melainkan guru yang terus memotivasinya. Karena gurunya dia bisa.
Dibalik penyemangatan penyemangatan dari Pak Rio, Rufi semakin bertanya tanya saat terngiang nasehat; “Kemauan adalah segalanya, dengan kemauan, seseorang bisa meraih citanya”. Rufi yang bisa dianggap akrab dengan guru favoritnya ini belum sempat menanyakan maksudnya.
Hari demi hari dilalui Rufi. Keterngiangan nasehat tentang kemauan dari Pak Rio semakin lama semakin lenyap. Walau dia seringkali chattingan dengan Pak Rio, tapi pertanyaan itu belum sempat terpikirkan
Suatu malam, Rufi menyempatkan diri untuk nge-net. Saat dia buka account facebooknya, dia mendapati 1 friend request. Tertulis nama yang singkat, zy, disamping kanan foto cewek yang rupawan tersenyum sambil memiringkan kepalanya 20°. Rufi dengan tertariknya meng-confirm friend request tersebut. Tak lama selang waktu kemudian, dia mendapati Zy menulis sesuatu di wall FB-nya; “Hai, thanks to confirm my add, just call me Zy, we will make a friendship.” Rufi tidak membalas post itu, karena dia sedang asyik main game. Tapi tak lama lagi kemudian, Zy mengajak chatting Rufi. Kali itu beda, Rufi membalas obrolannya, kemudian berlangsung lama. Dalam obrolan mengasyikkan itu, Rufi juga diajak untuk bertukar nomor ponsel. Rasa ketertarikan Rufi mulai ada saat itu.
Berawal dari Zy, Rufi mulai sering membuka FBnya untuk terhubung dengan the far friandshipnya, Zy. The far friendship, itulah sebutan yang secara langsung mereka temukan saat mereka saling chattingan. Nama Pak Rio di daftar chattingnya tidak dihiraukannya. Rufi dan Zy juga sering saling nelfaon dan kirim pesan lewat ponsel. Meraka sudah benar benar menjadi teman akrab.
Zy, cewek nasrani dari SMA Santo Paulus Bandung itu mungkin sudah mempesonakan Rufi. Rufi semakin tidak menentu dalam urusan sekolahnya. Apalagi ditambah pesan pesan aneh yang dikirim Zy. Rufi jadi semakin dalam. Tak terkesan Zy mempesonakan Rufi, Zy juga merasakan kedalaman yang sama. Zy seringkali mengirim pesan tentang perasaannya pada Rufi tapi dalam gaya bahasa lain yang aneh seperti; “Jika seorang perempuan mencintai apa yang tidak bisa ia cintai, apakah yang dicintainya juga akan merasakan mencintai apa yang tidak bisa dicintai dari yang dicintainya?.” Susunan bahasa yang tidak mudah difahami. Tapi Rufi menganggap itu sebagai sisi roman dari Zy.
Di suatu malam yang dingin karena derasnya hujan, Rufi mendengar dering pesan dari ponselnya dengan samar samar. Ternyata benar, Rufi mendapati message received yang pengirimnya tak lain adalah Zy, cewek yang baru saja menelfonnya. Ketika jari Rufi mulai menekan bundaran bertuliskan yes di ponselnya, tak terbayangkan ! Zy nembak Rufi Rufi. Rufi yang baru membaca pesan itu tiba tiba sesedingin malam itu. Tak sempat terpikirkan kalau the far friendshipnya akan menuliskan kata kata penembakan itu. Sempat terpikirkan oleh Rufi akan berbedanya keyakinan antaranya dengan Zy. Komunikasi antara dua the far friendship ini juga seringkali terputuskan oleh masalah keyakinan. Tapi keduanya masih tetap melanjutkannya dengan obrolan lain. Rasa tak karuan menyelinapi jiwa Rfui yang kemudian terhapuskan dengan ketenagan beberapa saat. Rufi menginginkan persahabatan yang sejati dari Zy, walaupun perasaan sebenarnya itu sama dengan apa yang dikirim Zy lewat SMS itu. Ketenangan sudah mendominasi keseluruhan jiwa raga Rufi. Dan dia membalaskan dengan satu pernyataan; “We will make a friendship”.
Beberapa hari kemudian, di suatu pagi yang cerah dicampur tanah yang banyak kubangan-kubangan air hujan, tak secerah Rufi ketika dia berangkat sekolah. Terlihat dari kubangan di parkir motor siswa, wajah Rufi yang lesu. Lorong jalan menujunya dari tempat parkir ke kelas pun seakan diam dan tidak memberikan semangat pada anak yang sebenarnya pandai itu. Zy telah menghilang dari Rufi. Setelah mengirimkan pesan penolakannya terhadap Zy, Zy jadi sering tidak membalas apapun dari Rufi. Mungkin Zy kecewa saat dia ditolak Rufi. Rufi tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia merasakan kesepian. Karena Zy, dia menjadi bersemangat (walaupun sebenarnya tidak untuk semangat belajar). Karena Zy, dia menjadikannya sebagai warna hidup. Dan karena Zy pula, dia membalas pesan yang dilontarkan Zy untuk menjadikannya kekasih hati Zy. Sungguh kikuknya Rufi setelah kehilangan sahabat terbaiknya.
Hari hari belajar Rufi menjadi tidak jelas setelah kedekatannya dengan Zy. Walau setelah Zy menghilang, dia seakan menjadi lazinessman. Semuanya jadi berbeda. Rufi juga menjadi lebih tertutup. Tapi dalam kesehariannya ia memang tertutup. Jadi mungkin sebutan tutupnya tertutup lebih tepat diucap. Senyum Pak Rio setiap pagi yang biasa dia temui kini tidak dibalasnya.
Masa kekelaman Rufi terlanjutkan pada penyesalannya mendapat nilai nilai jeblok di foto copian raport semester satunya. Terdiam seakan marah, itulah yang didapat Rufi dari raut wajah dan gelagat orang tuanya. Rufi tergeletak tidur tak tidur sambil terdiam menatap jeleknya foto copian raportnya. Dia mendapati serentetan angka 5 dan 6. angka 5 lebih menguasai pada tabel yang dianggapnya menyebalkan saat itu. Dia terus terdiam menyesali pencapaiannya hingga dia tertidur pulas.
Saat tidur, dia terbawa ke alam mimpi. Disitu dia bermimpi bertemu dengan Pak Rio dengan baju serba putih layaknya malaikat yang bersayap dan Zy memakai baju serba hitam ditambah sapu terbang dan topi kerucut hitam panjang layaknya penyihir jahat tapi rupawan.
Kesadaran Rufi termunculkan setelah mimpi itu, dan dia segera menyerobot lalu menatap kembali foto copian raportnya. Dia terfokus dengan mapel bahasa inggris di kolom nomor 3 yang bernilai jeblok juga. Tapi bukan nilainya yang membuat pemalas itu sadar, melainkan gurunya. Dia teringat pesan dari guru favoritnya, tak lain adalah Pak Rio. Bahwa sebuah tujuan tidak dapat diraih dengan tidak adanya kemauan. Saat itu juga dia berpikir kalu nasehat Pak Pio adalah benar. Selama ini dia tidak ada kemauan untuk belajar. Kemauannya hanya tertuju pada Zy, dan perasaan serta responnya terhadap Zy terlalu berlebihan hingga dia lupa.
Pada akhirnya Rufi bertekad bulat untuk memperbaiki prestasinya yang tengah kandas tenggelam di dasar samudra dengan berkemauan untuk terus belajar kemudian menekuninya. Dia tak mau lagi menjadi lazinessman. Dia bagai beranjak dari serbuan kucing kucing yang mengkerubuti. Disaat semangat menggebu gebu itu ada di benaknya, terdengar dering pesan yang berbunyi ngeongan seekor kucing dari ponselnya. Itu dari Zy, yang didalam mimpinya berperan sebagai penyihir jahat tapi rupawan. Tetapi Rufi tidak menaruh rasa kebencian terhadapnya. Bagaimanapun Zy bukanlah penyihir jahat seperti dalam mimpinya. Zy adalah sahabatnya, the far friendshipnya. Lalu dia membaca pesan itu;
“Hai Rufi, mungkin ku terlalu.... ugh !!... mencurahkan perasaanku. Ku tahu kalau yang kamu inginkan adalah kita sebagai sahabat. Ku seperti berusaha merusak persahabatan kita. Jadi sekali lagi kuucapkan; we will make a friendship again, friendship who better than before, please confirm me again.” Lalu Rufi membalasnya; “Yeah... we will make a friendship again.”

"Surat Misterius"
Oleh : Georgeous Fairy

Pagi yang cerah. Sebuah awal yang indah. Tapi, suasana di kelas X-1 masih terlalu sepi. Hanya ada beberapa anak yang sedang mengerjakan PR. Tugas yang sebenarnya dikerjakan di rumah, tapi kebanyakan malah dikerjakan di sekolah. Suatu kebiasaan buruk sebenarnya. Tapi mau gimana lagi?, udah berusaha ngerjain PR di rumah masih aja belum bisa. Jadi terpaksa ngerjain di sekolah.
Ketika aku sedang sibuk-sibuknya ngerjain PR bareng teman teman, tiba-tiba ada suara di luar kelas yang mengagetkanku. Kulihat ada kak Leni dan kak Santi. Dua kakak kelasku itu memanggilku. Dengan perasaan was-was dan penuh keraguan aku menemuinya.
"Ada apa kak?" tanyaku. dan kak Leni malah balik bertanya,
"Bener kan kamu yang namanya Ani?"
"Hu'um, emangnya ada apa kak?" pertanyaan yang sama, aku mengulangnya.
"Nie, ada surat buat kamu dari Yudi." kata kak Santi.
"Yudi siapa kak? aku nggak kenal." jawabku agak bingung. Mereka juga kelihatan kebingungan mendengar jawabanku.
"Hmm, masa' nggak kenal sich?" kata kak Leni, seakan akan nggak percaya sama aku.
"Beneran kak, aku nggak kenal. Aku nggak pernah kenal yang namanya Yudi, teman temanku juga nggak ada yang namanya Yudi kok?" jawabku. Kak Leni pun membolak balikkan amplop surat itu dan bilang; "Bener kamu kok, Ani kelas X-1." Aku malah tambah bingung. Emang sich yang namanya Ani kelas X-1 cuma aku, tapi aku kan sama sekali nggak kenal siapa Yudi itu, mungkin salah alamat kali? pikirku.
"Nie surat emang bener buat kamu, mendingan dibaca dulu, siapa tau ntar kamu kenal dia." mereka pun mengangguk dan meninggalkan koridor kelasku.
Setelah mereka benar benar pergi, aku masuk kembali ke kelas. Ita, salah satu temanku bertanya; "Ada apa sich Ni'? kayaknya kok serius banget?"
"Aku juga nggak tau, bingung. Mereka cuma ngasih ini." jawabku sambil menunjukkan sebuah surat yang tadi kak Leni dan kak Santi kasihkan ke aku.
"Surat? hayo... surat apaan tuh?" tanya Rina.
"Mana aku tau? aku juga belum buka suratnya."
"Surat dari siapa sich Ni'?" tanya Ita.
"Katanya sich dari Yudi, tapi aku nggak tau dan nggak kenal sama dia, ngeliat orangnya aja kayaknya belumpernah dech." Jawabku agak sewot.
"Hmm... mendingan dibuka bersama aja." Usul Rina.
"Hu'um" jawab teman teman hampir bersamaan.
"Yee... suratnya siapa dan buat siapa?" protesku.
"Ya ya ya... suratnya kamu, tapi kan kita juga penasaran, lagian kamu juga nggak kenal Yudi dan nggak tau isi surat itu apa? jadi nggak apapa dong kalau kita ikut baca?" komentar Rina. Teman-teman juga banyak yang mengangguk tanda setuju dengan Rina. Karena kami sama sama penasaran, akhirnya kami sepakat untuk membuka surat itu, untungnya belum ada teman cowok yang masuk kelas, jadi apapun isi surat itu aku nggak malu. Kami pun membacanya bersama sama.
Kaget,  bingung dan takut. sebuah ekspresi wajah yang tidak mengenakkan di pagi yang cerah ini. Apalagi di tempat  yang banyak orangnya. Huff... menyebalkan. Perasaanku pun campur aduk usai membacanya. Kenapa dia kenal aku? kenapa juga dia memintaku untuk jadi ceweknya? siapa sich dia sebenarnya? berbagai pertanyaan muncul di benakku. "Cie... ada yang di tembak nie, traktiran dong? ech, Yudi tuh siapa sich?" tanya Ita. "Hahh?... aku juga nggak tau, aku nggak kenal dia, kayaknya dia salah alamat?" jawabku dengan nada kebingungan.
"Salah alamat? kamu tuh aneh, wong disini jelas jelas ditulis nama identitasnya kamu, lengkap lagi." kata Rina.
"Bener ! lagian kamunya aja yang nggak nyadar kalau ada orang yang diem diem suka sama kamu, udahlah... nggak usah takut gitu kali... biasa aja, kayak gitu tuh udah biasa terjadi."
"Tuh menurut kamu Rin, tapi bagiku itu nggak. hmm... gimana nich?" protesku kepada Rina yang agak cuek nggak tau aku lagi kebingungan. Huhh nyebelin !!!...
Bel masuk berbunyi, terlihat anak anak cowok berhamburan masuk kelas. Selesai membaca do'a pagi, pelajaran pertama pun dimulai. Sampainya pada waktu yang sangat singkat sudah masuk jam kedua, ketiga, sampai bel istirahat mengagetkan kami semua. Tapi tak ada satupun pelajaran yang bisa kuserap. Pikiran dan perasaanku masih tertuju pada surat misterius itu. Disela-sela jam istirahat, kelas X-1 ramai dengan obrolan mengenai surat itu. Erni, salah satu temanku yang sempat mendengarkannya tiba tiba dia bilang ke aku; "Kayaknya aku kenal dia, dia tuh tetanggaku." aku terkejut mendengarnya, tapi juga bersyukur, Alkhamdulillah... akhirnya aku bisa tau siapa dia. Erni pun bercerita tentang tingkah lakunya sehari hari, tentang hobi dan kebiasaannya, dll. Dari cerita Erni, aku bisa menyimpulkan kalau dia orangnya nggak asyik. Kayaknya aku kurang suka. Tapi aku bingung, surat itu mau aku balas atau nggak? Dengan kesediaan bantuan dan bujukan Erni, akhirnya aku membalasnya. Aku dibantu Erni menyampaikan surat yang isinya kurang lebih ucapan terima kasih dan maaf aku karena aku nggak bisa jadi ceweknya. Aku belum berfikir untuk pacaran, yang ada di benakku hanyalah aku ingin belajar. Surat balasan itu agak membuatku tenang, tapi aku sempat bertanya tanya sendiri apakah dia kecewa sama aku? mudah mudahan dia bisa ngertiin apa maksudku.
Hubunganku dan dia hanya sampai disitu. Sampai sekarangpun aku belum pernah melihat dia, apalagi untuk mengenalnya lebih jauh. Hanya saja kadang dia ngasih salam. Anehnya, aku nggak ngerasa bersalah, toh belum terlintas di benakku untuk mengenal cinta. Tapi walaupun aku tidak mengenal dia secara langsung, hanya lewat cerita ceritanya Erni, bagiku dia sudah memberikan kenangan dan pengalaman tersendiri dalam hidupku.